PORTAL SATRIA – Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) menggelar Aksi Bela Rakyat (AKBAR) di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin 12 September 2022. Aksi tersebut digelar untuk menyampaikan aspirasi penolakan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak).
Pimpinan GNPR, Yusuf Muhammad Martak menyatakan secara tegas menolak kenaikan harga BBM.
“Kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan ekonomi rakyat yang saat ini masih terpuruk akibat pandemi Covid-19, terutama karena kenaikan harga BBM secara otomatis telah dan akan memicu kenaikan harga berbagai barang dan jasa lain, seperti harga-harga pangan, bahan pokok dan transportasi,” kata Yusuf membacakan pernyataan sikap GNPR.
Baca Juga: Gegara Tak Hafal Teks Pancasila, Ketua DPRD Lumajang Mengundurkan Diri
Akibat kenaikan tersebut, kata Yusuf, akan berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Rakyat miskin semakin miskin, sedangkan rakyat yang hampir miskin benar-benar akan jatuh miskin.
Menurutnya, alasan 80% subsidi BBM tidak tepat sasaran sudah berlangsung bertahun-tahun, namun bukannya dan mencari solusi dan memperbaiki kondisi yang tidak adil ini sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah malah menzalimi rakyat miskin dengan semena-mena menaikkan harga BBM, sehingga ketidakadilan tetap akan terus berlangsung;
“Kami meyakini kebijakan subsidi solar sarat moral hazard, sebab pemerintah menyatakan 89% solar bersubsidi tidak tepat sasaran dan dinikmati dunia usaha. Namun pada saat yang sama pemerintah membuat kebijakan yang membuka celah atau tidak berupaya maksimal mencegah penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi, minimal bagi truk-truk pengusaha sawit, tambang batubara, tambang mineral dan industri untuk leluasa mengkonsumsi solar bersubsidi,” jelas Yusuf.
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama itu menilai, Presiden Jokowi telah menggunakan kebijakan harga BBM untuk pencitraan politik demi kekuasaan, terutama saat menjelang Pilpres 2019. Untuk itu, kebijakan harga BBM yang semula “berfluktuasi” sesuai perubahan harga minyak dunia, telah dirubah untuk ditahan menjadi “harga tetap” selama lebih dari empat tahun. Padahal inflasi terus terjadi setiap tahun.